Angels Blog

Welcome To Uwie Blog....

Kamis, 03 Februari 2011

Tujuan & Hukum Pernikahan


Tujuan dan Hukum Pernikahan
 
 
Defininisi Nikah
 
Nikah dari segi bahasa berasal dari kata "kumpul" dan definisi secara syara' adalah suatu akad yang mengarah kepada bolehnya jima' dengan mengucap lafadz nikah.
 
Dalam UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 , perkawinan didefinisikan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria  dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
 
Para ulama fiqh menyatakan bahwa nikah adalah penyempurna ibadah karena bilamana seseorang telah sempurnya syahwat batiniahnya maka ia akan membutuhkan syahwat farji.
 
Tujuan Nikah
 
Para ulama klasik menetapkan tujuan nikah adalah
a. Menjaga kelangsungan keturunan
b Mengeluarkan air yang memberi mudharat kepada badan apabila ditahan
c. Untuk mencapai kenikmatan (seksual)
 
Akan tetapi pada ulama kontemporer meluaskan tujuan nikah dengan tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan fisik seorang manusia  tapi juga kebutuhan psikis sebagaimana yang telah difirmankan Allah  dalam Al Qur'an
 
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri , supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya , dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang .Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar Rum ayat 21)
 
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia menciptakan rasa cinta dan kasih sayang diantara anak manusia secara berpasang-pasangan sebagai salah satu rahmat dan anugrah dari-Nya yang tidak selalu diberikan oleh-Nya kepada makhluk lain selain manusia.
 
Kecondongan seorang anak manusia pada pasangannya pada dasarnya lebih banyak didasari oleh kemurahan dari-Nya daripada sekedar oleh dorongan hasrat nafsu seksual seperti yang dialami oleh sebagian besar jenis hewan.Dan ketika anugrah Allah ini sampai ke diri sepasang anak manusia maka ia tidak akan merasa senang dan tentram sampai mereka disatukan oleh sebuah ikatan yang kuat berupa tali perkawinan.
 
Karena itulah menurut hemat penulis sangatlah terlalu dangkal untuk mendefinisikan tujuan perkawinan hanya demi untuk mendapatkan kesenangan seksual atau melampiaskan hasrat seksual , karena manusia bukanlah hewan yang hanya memiliki kebutuhan untuk bagian tubuh bagian bawahnya (makan , minum dan bersetubuh) , sementara manusia berbeda karena dikaruniai Allah dengan hati atau perasaan dan akal dimana keduanya memiliki hak pula untuk hidup dan diberi 'makan'.Oleh karena itulah mendapatkan kesenangan seksual dan melampiaskan hasrat seksual bukanlah sebuah tujuan perkawinan akan tetapi hanyalah sebuah efek dari perkawinan yang bertujuan untuk menyatukan hati dan pikiran sepasang anak manusia yang berlainan jenis dan memutuskan untuk hidup bersama dan berbagi kesenangan maupun duka bersama.Seks bukanlah tujuan melainkan
hanya sebuah media untuk mengekpresikan cinta dimana perkawinan membuatnya agar tetap berada dalam kesucian.
 
Memperoleh keturunan pun bukanlah sebuah tujuan utama akan tetapi sebuah buah dari cinta dan perkawinan dimana kehadiran seorang anak akan semakin mempererat hubungan cinta dan kasih sayang diantara mereka berdua.
 
Hukum Nikah 
 
Hukum dasar dari nikah adalah sunat dan berlaku pada seseorang terutama laki-laki yang sudah berkeinginan untuk jima' serta telah  mampu untuk menikah.Mampu disini didefinisikan bahwa ia mampu untuk memberi mahar yang layak, menafkahi istrinya dengan makan, minumdan kebutuhan sehari-hari lain dengan cukup, membelikan pakaian , memberi rumah sekemampuannya dan mampu secara fisik untuk melakukan jima'.
 
Dan sebagaimana hukum lainnya yang berlaku pada manusia maka hukum nikah pun bisa berubah secara kondisional.Nikah hukumnya menjadi wajib apabila seseorang bernadzar untuk menikah selain itu juga ia wajib untuk menikah bila selain dua hal diatas ia juga sudah memiliki keinginan untuk menikah serta telah memiliki calon yang  cocok serta takut akan jatuh kepada perbuatan zina bila tidak menikah.
 
Sementara bila seseorang memiliki hasrat untuk berjima' dan memiliki keinginan untuk menikah tapi tidak memiliki kemampuan maka ia lebih utama untuk tidak menikah sepanjang ia mampu untuk
menahan diri untuk tidak berzina.
 
Hukum nikah juga berubah menjadi makruh pada seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan tidak pula memiliki keinginan untuk menikah serta tidak memiliki kecenderungan untuk
jatuh ke perbuatan zina .Walaupun secara fisik , psikis maupun usia ia telah dianggap pantas menikah.
 
Hukum nikah juga bisa jatuh menjadi haram apabila niat salah satu pihak atau pihak ketiga yang menikahkan atau memaksa mereka untuk menikah cenderung pada upaya untuk mencelakakan atau
mendzolimi pasangannya.
 
Dari uraian diatas kita bisa melihat bahwa kelayakan seseorang untuk menikah atau tidak berdasarkan hukum agama tidaklah semata-mata didasari oleh usia , harta dan kemampuan fisik semata tapi juga dilihat dari kesiapan mental berupa keinginan penuh dan keridhaan dirinya beserta pasangannya untuk menikah, bahkan hal inilah yang dianggap lebih utama karena hubungan pernikahan bukanlah semata-mata didasari oleh hubungan fisik dan materi tapi juga emosi dan mental yang mana
dalam kehidupan perkawinan memegang peranan yang sangat besar dibandingkan hanya dengan kematangan fisik dan kecukupan harta Kalaupun dipaksakan maka perkawinan itu akan memiliki kecenderungan menimbulkan mudharat padahal tujuan utama pernikahan adalah mencapai kemashlahatan.
 

Tujuan Pernikahan dalam Islam
Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang seperti: berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang jauh dan diharamkan oleh Islam.

Untuk membentengi ahlak yang luhur.
Sasaran utama dari disyari'atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan serta melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih Menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).

Untuk menegakkan rumah tangga yang islami.
Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian). Jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah: "Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim". (Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari'at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan ayat di atas: "Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dinikahkan dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk nikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui". (Al-Baqarah: 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal yaitu: (a) sesuai kafa'ah; dan (b) shalih dan shalihah.

Kafa'ah menurut konsep islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orangtua. Tidak sedikit pada zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, kafa'ah (atau kesamaan/kesepadanan/ sederajat dalam pernikahan) dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami Insya Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlaq seseorang. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya kecuali derajat taqwanya.

Firman Allah: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Al-Hujurat : 13).

Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orangtua, pemuda, pemudi untuk meninggalkan faham materialis dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim).

Memilih yang shalih dan shalihah
Lelaki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur'an: "Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, olkeh karena Allah telah memelihara (mereka)". (An-Nisaa : 34). Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah : "Ta'at kepada Allah, ta'at kepada Rasul, memakai jilbab (pakaian) yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32).

Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, ta'at kepada orangtua dalam kebaikan, ta'at kepada suami dan baik kepada dan lain sebagainya". Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.
 
Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Sampai-sampai bersetubuh (berhubungan suami-istri) pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!." Mendengar sabda Rasulullah itu para shahabat keheranan dan bertanya: "Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?" Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab: "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? "Jawab para shahabat : "Ya, benar". Beliau bersabda lagi : "Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!". (Hadits Shahih Riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih).

Untuk mencari keturunan yang shalih dan shalihah.
Tujuan pernikahan diantaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Allah berfirman: "Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". (An-Nahl : 72).

Yang tak kalah pentingnya, dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas yaitu mencetak anak yang shalih dan Shalihah serta bertaqwa kepada Allah SWT. Keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan tarbiyah Islam (pendidikan Islam) yang benar. Disebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan metodanya tidak Islami. Sehingga banyak terlihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami sebagai akibat pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Islam memandang bahwa pembentukan keluarga merupakan salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar