Karawitan
Di Sunda
Sampurasun, tabe pun da halal. Tulisan pendek
ini akan memaparkan secara umum sedikit keadaan beberapa karawitan, terutama
yang tua (kuna) secara usia dan atau khas secara musikal atau pertunjukan, dari
peninggalan leluhur masyarakat Sunda berdasarkan pengetahuan saya yang sangat
terbatas. Adapun yang dimaksud karawitan dalam tulisan ini adalah perangkat
musik (Sunda) yang di dalamnya terdapat alat musik jenis idiophone penclon
dan wilahan terbuat dari logam dan atau kayu, serta di dalamnya juga
biasanya terdapat alat musik jenis membranophone dan chordophone.[2]
PENDATAAN KESENIAN
Setelah pendataan yang dilakukan tim Proyek Penunjang
Peningkatan Kebudayaan Propinsi Daerah Tk. I Jawa Barat tahun 1970/80-an
pimpinan Bpk. Enoch Atmadibrata, sampai sekarang belum terlihat lagi usaha
serupa yang lebih rajin dan dapat diketahui hasilnya oleh masyarakat luas.
Pendataan pada masa itu telah mencatat kekayaan kesenian di Jawa Barat sebanyak
243 kesenian dari 9 rumpun kesenian yang masih berkembang, serta 9 rumpun yang
kurang tersebar dan akan punah. Kesenian pada saat itu yang dalam kondisi punah
ada 26 jenis, tidak berkembang ada 94 jenis, dan kondisi berkembang ada 103
jenis. Apakah jumlah kesenian sebanyak itu sekarang masih demikian? Belum
diketahui, tetapi pasti berubah. Sepengetahuan saya belum ada yang mendata dan
meneliti lagi secara seksama kesenian kita. Katanya Disbudpar Jawa Barat pada beberapa tahun ini telah
mendata kesenian di Jawa Barat dan—katanya—jumlahnya lebih dari 300 jenis
kesenian, tetapi hal ini tidak terpublikasikan secara umum, sehingga saya ragu akan berita
tersebut, sehingga keakuratan datanya saya masih menganut versi Proyek
Penunjang. Yang memperkirakan
pun mungkin banyak, tetapi yang teliti dan detil, belum ada. Padahal
perkembangan teknologi sekarang akan sangat menunjang terhadap pendataan,
pendokumentasian, dan pengembangan kesenian apapun.
KARAWITAN DI SUNDA
Sejak kapan keberadaan karawitan di Sunda muncul, belum
dapat dipastikan, dan belum ada yang melacak. Naskah-naskah kuna yang dikaji para ahli sejarah tidak
ada satu pun yang memberitakan tentang karawitan secara jelas. Meski demikian,
dengan tercantumnya istilah-istilah kesenian dalam naskah Siksakandang
Karesian dari masa Pajajaran abad ke-16, merupakan informasi sangat
berharga untuk meyakinkan bahwa tradisi bermusik manusia Sunda telah ada cukup lama, misalnya
adanya ahli karawitan yang disebut kumbang gending, ahli karawitan yang
disebut paraguna, serta berbagai istilah lainnya. Dalam naskah Carita
Parahiyangan (abad
ke-16) peristilahan yang langsung berkaitan dengan musik hanya ada istilah tatabeuhan
(bunyi-bunyian), tanpa menyebutkan nama bunyi-bunyian dan alat musik yang
digunakannya. Sedangkan naskah Sewaka Darma telah menyebutkan istilah gangsa,
yang berarti karawitan. Akan tetapi para ahli sejarah belum meyakinkan secara
tepat usia naskah Sewaka
Darma (mungkin abad ke-18, dan mungkin abad ke-15), sehingga tidak pasti pula
masa keberadaan gangsa tersebut. Naskah Bujangga Manik (dari sekitar
akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, lebih tua dari Siksakandang Karesian),
telah menyebutkan istilah goong, gangsa, gendang, dan sarunay
pada masa itu, meskipun alat musik itu dilihat oleh penulisnya (Prebu Jaya
Pakuan atau Rakean Ameng
Layaran, seorang bangsawan Pakuan) ketika sedang berada di pelabuhan Pamalang (daerah alas
Jawa; kini kota di
daerah pesisir utara Jawa Tengah, tetapi sekarang agak jauh dari pantai). Meskipun
demikian mungkin saja instrumen musik tersebut dikenalnya pula di Sunda. Berkaitan dengan hal ini harus pula
diingat bahwa perkampungan masyarakat (wilayah) Sunda pada masa lampau
wilayahnya lebih luas dari pada sekarang (ada yang menyebutkan sampai Tugu, Semarang ). Akan tetapi
yang masih diketahui paling tidak sampai daerah Pekalongan sekarang masih
terdapat nama-nama tempat yang jelas bertoponim Sunda, di antaranya kecamatan
Paninggaran (Pekalongan), kecamatan Cikadu (dekat Comal, Pemalang), sungai
Tungtung Gunung (Purbalingga), Luwungggede (Leuweunggede, Brebes), Cimohong
(Brebes), dan banyak lagi yang sekarang semuanya telah merupakan daerah
berbahasa Jawa. Tidak disebutkan nama tempat-tempat lainnya di kabupaten Brebes
dan Cilacap yang setengah wilayah dan penduduk kabupaten tersebut sampai
sekarang pun merupakan daerah Sunda.
Dalam cerita pantun—suatu seni tradisi teater tutur kuna di Sunda—alat musik
di kerajaan Sunda/Pajajaran masa lalu yang sering disebutkan adalah goong
kabuyutan atau goong renteng atau bende agung kabuyutan yang sering ditabuh oleh tokoh lengser
ketika akan mengumumkan berita kerajaan. Akan tetapi peninggalan alat musik
tersebut tidak terlacak keberadaannya sekarang. Sedangkan dari masa selanjutnya
(Sumedanglarang; abad
ke-15—16), paling tidak terdapat satu karawitan yang masih ada, yaitu goong
renteng Ciwaru yang menurut pewarisnya pernah digunakan Eyang Jayaperkosa (Embah Sayanghawu) untuk mapahayu[3]
perang Sumedang—Cirebon akibat peristiwa Harisbaya (akhir abad ke-16).[4]
Mungkin saja karawitan ini berasal dari/masa Pajajaran, karena Jayaperkosa (dan
tiga saudaranya[5])
adalah mantan pejabat penting di ibukota Pajajaran.
Dalam pendataan Proyek Penunjang, ada beberapa jenis
karawitan, yaitu: ajeng, cara balen, degung, gambang kromong,
salendro/pelog, goong gede, goong renteng, koromong, monggang, prawa, ringgeng,
sekaten, toplek. Akan
tetapi dengan berdasarkan bentuk, kelengkapan, dan penempatan alat musiknya,
kalau boleh saya mengelompokkan, jenis karawitan di Sunda dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu
kelompok: (1) renteng, (2) salendro—pelog, dan (3) ketuk tilu.[6]
Termasuk kelompok renteng adalah: goong renteng, sakati, degung,
koromong, goong gede, dan monggang Ciamis. Termasuk kelompok
salendro—pelog adalah: karawitan salendro, karawitan pelog, karawitan
ajeng, dan monggang Cigugur. Termasuk kelompok ketuk tilu
adalah: tatabeuhan ronggeng (ketuk tilu, ronggeng gunung, ronggeng
ketuk, doger, topeng banjet, dsb.). Dalam daftar berikut ini akan disebutkan beberapa
jenis karawitan kuna atau khas dari kelompok renteng dan salendro—pelog
saja.
Dari kelompok renteng, sampai sekarang setidaknya dapat
diketahui beberapa jenis karawitan kuna di tanah Sunda, yaitu: goong renteng
ada 9 perangkat, koromong ada 4 perangkat,
monggang/gara balen ada 1 perangkat, goong gede ada 1 perangkat,
sakati ada 2 perangkat, degung ada 2 perangkat. Sedangkan dari
kelompok salendro—pelog ada 10 perangkat atau lebih, dan ajeng
ada 8 perangkat. Yang saya catat berikut ini hanya sebagian saja, karena
pasti masih ada karawitan-karawitan kuna atau khas yang belum diketahui dan
disimpan masyarakat. Dengan sedikit data ini mungkin bisa memberikan gambaran
tentang khasanah karawitan Sunda.
Pada umumnya karawitan-karawitan kuna tidak terlacak
secara pasti masa pembuatannya. Penentuan waktu pembuatannyanya hanya
berdasarkan cerita (biasanya lisan) tentang peristiwa yang melatarbelakanginya.
KONDISI
Kondisi yang dimaksudkan di sini menyangkut suatu keadaan
yang berubah atau tidak berubah, baik ke arah penambahan maupun ke arah
pengurangan. Perubahan dalam perangkat karawitan menyangkut fisik
(kongkret) dan non-fisik (abstrak). Perubahan fisik menyangkut populasi
(jumlah) dan bentuk (wujud). Perubahan non-fisik menyangkut perkembangan
musikal (lagu atau gending), dan mungkin aspek lain yang berkaitan
dengannya.
Fungsi
Semua perangkat karawitan pada dasarnya dibuat untuk
keperluan hiburan. Selaras dengan perjalanan waktu, situasi, dan kondisi setiap
zaman, maka berbagai karawitan pun mengalami perubahan fungsi. Meskipun
kelihatannya ada yang tetap, untuk keperluan ritual misalnya, kadar ritual
setiap masa akan berbeda.
Bagi karawitan dan atau lagu kuna, volume penampilannya
setiap masa berbeda-beda, dan sekarang mengalami penurunan yang sangat drastis.
Hal ini diakibatkan pengaruh kebutuhan dan selera masyarakat akan jenis hiburan
sudah berbeda. Menurunnya volume pertunjukan akan mempengaruhi berbagai aspek
kelestarian karawitan tersebut. Misalnya lagu-lagu pada karawitan ajeng, hampir
semua nayaganya tidak hafal lagu khas ajeng, mereka hanya hafal lagu-lagu ajeng
jenis rarancagan dan jenis kebon untuk mengarak pengantin.
Tradisi mengarak pengantin dengan ajeng pun kini telah mengalami penurunan
volume pertunjukan, sehingga yang dikhawatirkan ikut menghilang tidak hanya
lagu ajeng, tetapi tari Soja, yang juga menggunakan karawitan ini.
Namun meskipun kadar dan volume pertunjukan berbeda-beda
setiap masa, fungsi karawitan-karawitan di tatar Sunda masih relatif sama
dengan masa sebelumnya, yaitu untuk keperluan ritual kepercayaan, hiburan,
prosesi instansi tertentu, dan lain-lain.
PENGEMBANGAN
Dari berbagai aspek yang ada dalam karawitan banyak
sekali hal yang bisa dikembangkan, baik dari aspek musikal, rupa/tampilan
fisik, maupun sistem pertunjukan. Kemungkinan pengembangan itu sangat terbuka,
tidak ada batasan, tergantung konsep yang digunakannya. Pada umumnya kita
menganggap jika suatu musik ingin dikembangkan akan mengandung pengertian
dimoderenkan, dan pengembangan itu pada umumnya ditafsirkan dengan cara memadukan alat musik lokal dengan asing
(musik Barat atau lainnya). Saya pikir tidak harus selalu dan hanya demikian, serta tidak ada istilah
moderen dan tidak moderen untuk suatu perpaduan itu. Perpaduan alat musik kita
dengan alat musik Barat hanyalah suatu alternatif perubahan, dan tidak
pemoderenan atas keterbelakangan musik kita. Akan tetapi bagi saya sendiri,
dalam hal pengembangan atau perubahan, jika hal yang akan dirubah atau
dikembangkan tersebut berasal dari benda tradisi, sebaiknya juga memperhatikan
nilai-nilai tradisi. Meskipun misalnya perubahan itu menggunakan konsep dari
luar kebiasaan di benda tersebut, tetapi konsep tersebut tidak bertentangan
dengan nilai-nilai tradisi yang ada, sehingga tidak dinilai masyarakat sebagai
suatu perusakan. Sebaliknya malah bisa membuat unggul benda lama tersebut.
Meski demikian pandangan yang menganggap suatu perusakan atas nilai-nilai
tradisi dalam suatu pengembangan (kreasi), sebenarnya hal tersebut sangat
relatif, sebab akan tergantung dari mana kita menilai.
Saya ambil
illustrasi pengembangan yang cukup baik, misalnya karawitan degung Palag
Galuh yang dibuat Bpk. R. Lalam Wiranatakusumah sekitar tahun 2001.
Karawitan ini berdasarkan ukuran, ukiran, tampilan, dan jumlah nada, tidak
biasa dalam tradisi degung yang selama ini dilihat, tetapi perubahan itu dibuat berdasarkan nilai-nilai
tradisi Sunda sendiri. Demikian pula dengan pengembangan kacapi dan alat musik
gesek oleh Dasentra, dan pengembangan musikal oleh Sambasunda, cukup baik.
Penambahan unsur-unsur musikal dari luar memungkinkan untuk dapat memberikan
suatu alternatif baru rasa musikal musik kita.
Mengenai
pengembangan bentuk alat dan penemuan alat musik baru, sebenarnya hal ini
banyak dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa STSI Bandung (biasanya dibuat ketika
mahasiswa akan membuat karya akhir akademis). Akan tetapi pengembangan
(sekaligus suatu penemuan) tersebut biasanya tidak ada kelanjutannya. Setelah
digunakan biasanya dibuang begitu saja. Padahal penemuan tersebut merupakan
karya yang sangat istimewa di bidang organologi alat musik kita. Dalam masalah
pembuatan, penemuan, atau kreasi alat musik, patut pula dikemukakan nama
seniman Dodong Kodir yang telah menghasilkan puluhan alat musik unik yang
terbuat dari berbagai barang bekas. Baik dari segi bunyi maupun bentuk, alat
musik karyanya sangat
khas, dan ini memperkaya khasanah alat musik kita.
Dalam konsep dan pandangan lain, pengembangan bisa juga
tidak memperhatikan nilai-nilai tradisi. Hal ini pun kiranya tidak menjadi
masalah, karena merupakan sebuah usaha alternatif. Nilai-nilai tradisinya
sendiri masih terlestarikan pada masyarakat yang memeliharanya. Jadi
masing-masing mempunyai naluri
tugas menurut konsep masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar