MAKALAH KARAWITAN
PERKEMBANGAN KARAWITAN DI JAWA
![]() |
DISUSUN OLEH :
WAHYU SAPUTRI
33
IX-G
SMP NEGERI 1 ANDONG BOYOLALI
TAHUN PELAJARAN 2010/2011


Pada era global,
manusia tidak lagi hidup terkungkung dalam batas-batas geografis yang jelas.
Berkat kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang semakin canggih,
orang-orang yang hidup di benua yang berbeda-beda dan dipisahkan oleh jarak
ribuan kilometer, tiba-tiba secara cepat dapat disatukan dalam sebuah
pengalaman yang sama. Jarak bukan lagi menjadi penghalang, dan batas-batas
geografis pun menjadi semakin kabur. Pada era yang juga dikenal sebagai jaman
posmodern ini, kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi telah berhasil
mempengaruhi sebagian manusia, sehingga mereka merasa nyaman hidup di
ruang-ruang maya, dan menempatkan dirinya sebagai warga masyarakat dunia maya
yang hanya tampak nyata dalam imajinasi mereka.
Dalam era semacam ini,
muncul suatu fenomena yang menarik. Berbagai seni yang selama ini dianggap
tradisional alias kuno mulai dirindukan kembali. Seni yang selama ini dianggap
sebagai simbol keterbelakangan, kini tampil segar kembali, termasuk di dalamnya
adalah seni karawitan yang tampil dengan keanekaragamannya. Karawitan telah
tampil sebagai bahasa kemanusiaan yang mampu mengatasi batas-batas suku, kelas,
ras, dan bahkan bangsa. Saat
ini di belahan dunia manapun banyak ditemukan kelompok-kelompok gamelan dan
karawitan Jawa. Beberapa yang dapat dicontohkan di sini adalah Kelompok Mager
Sari di Osaka-Jepang, Sumunar di Amerika Serikat, dan Hanuman di Finlandia.
Boleh dikata, saat ini karawitan telah mendunia. Dengan demikian seni
karawitan menjadi salah satu harapan yang dapat dikembangkan untuk memperdalam
komunikasi global yang sedang berjalan.
Dewasa ini
seni karawitan jawa sedang ”naik daun” di berbagai belahan dunia, contohnya di California (USA ),
Muenchen (Jerman) dan Amsterdam
(Belanda). Seni yang eksotis dan ekslusif menjadi daya tari tersendiri bagi
karawitan jawa untuk menarik perhatian banyak orang. Jika di Amerika Serikat
semua perguruan tingginya telah membuka kelas karawitan jawa, lain halnya
dengan di Muenchen. Di Muenchen setiap bulannya di gelar pentas orkestra
gamelan dengan harga tiket yang mahal, meskipun begitu , tiap bulan penonton
pasti memadati gedung orkestra dan tiketpun laris manis. Lebih mengherankan
lagi, ternyata seluruh personilnya adalah warga negara asli Jerman. Sedangkan
di Belanda , nabuh gamelan bukan lagi sekedar mencari hiburan, namun sebagai
olahraga pengganti Yogya dan Taichi. Dengan melihat begitu banyaknya apresiasi
yang di raih seni karawitan jawa di negeri orang menimbulkan suatu pertanyaan:”
Apakah di negerinya sendiri karawitan jawa mendapat tempat yang istimewa dengan
tingkat apresiasi sebesar di luar negeri?”
Sebelum
membahas perkembangan seni karawitan jawa di Indonesia ,
akan dibahas tentang awal mula karawitan dan pengaruhnya bagi kehidupan seni
dan budaya di indonesia .
Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal yang
sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa jawa
rawit berarti rumit, berbelit – belit, tetapi rawit juga bararti halus, cantik,
berliku-liku dan enak. Dalam mitologi Jawa, Gamelan diciptakan oleh Sang Hyang
Guru pada Era Saka, Dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di
gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru
pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa, dan untuk pesan yang
lebih khusus Ia kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk
seperangkat Gamelan. Sebagian besar alat musik Gamelan terdiri dari alat musik
perkusi yang dimainkan dengan cara dipukul atau ditabuh. Oleh sebab itu pada
waktu orang memainkan alat musik Gamelan biasanya disebut “NGGAMEL”. Nggamel
adalah bahasa Jawa yang berarti Memukul / Menabuh. Inilah sebenarnya asal usul
kata GAMELAN (Nggamel = Gamel ditambahan akhiran –an).
Jika di telaah
melalui kacamata sejarah, karawitan telah ada sebelum masuknya pengaruh India
dalam seni budaya Indonesia,jadi dapat dikatakan bahwa karawitan jawa merupakan
seni kebudayaan asli Indonesia selain wayang, batik, ilmu-ilmu sajak,
pengerjaan logam, sistem mata uang sendiri, ilmu teknologi pelayaran,
astronomi, pertanian sawah dan sistem birokrasi pemerintah yang teratur ( Dr.
J.L.A. Brandes,1889). Pada candi-candi di Indonesia terpahat berbagai instrumen
gamelan, antara lain ; pada beberapa bagian dinding candi Borobudur
dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang
dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi,
simbal, suling, saron, gambang. Pada candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat
dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk
periuk, simbal (kècèr), dan suling. Gambar relief instrumen gamelan di
candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada candi Jago (abad ke -13 M)
berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada
candi Ngrimbi (abad ke – 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon).
Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi Kedaton (abad ke-14 M), dan
kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Jelas terlihat bahwa
karawitan sangat populer dan berpengaruh pada masa lampau.
Dahulu
pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini
siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa
yang termasuk kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001). Secara filosofis gamelan
jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.
Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan dengan seni
budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan dekat dengan perkembangan
religi yang dianutnya. Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika
yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus
bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah
jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur
yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Di dalam suasana
bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat. Gamelan dapat
digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa
berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa
halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus
gendhing-gendhing (Trimanto, 1984). Gamelan dibunyikan atau digunakan untuk
mengiringi pergelaran wayang, mengiringi tari-tarian, mengiringi upacara
sekaten, upacara kenegaraan/keagamaan, mengiringi klenengan untuk hal-hal tertentu
(upacara nikah, ngundhuh mantu dan lain-lain).
Seni karawitan
(musik pentatonis) mendapatkan kedudukan yang istimewa di dunia seni
pertunjukan Indonesia .
Tentu saja, pernyataan ini tidak sekedar pujian atau basi-basi tanpa alasan. Di
Surakarta dan Yogyakarta (eks ibukota
kerajaan) yang hingga sekarang menjadi pusat budaya (kesenian), seni karawitan
dapat berkembang bebas, baik di lingkungan njeron beteng (kraton) maupun luar
kraton. Hampir setiap kelurahan di Yogyakarta
memiliki seperangkat gamelan (alat musik Jawa), bahkan ada yang lebih dari satu
unit. Belum lagi gamelan milik personal, baik dari kalangan bangsawan kraton,
seniman maupun masyarakat biasa. Di sela-sela kesibukan masyarakat, dapat
dipastikan ada aktivitas nabuh gamelan yang dilakukan rutin berkala. Ada kelompok yang
beranggotakan pria dewasa, wanita dewasa, remaja serta anak-anak.
Harus diakui
bahwa ada perasaan iri ketika menyadari kemapanan masa depan seni karawitan
lebih menjanjikan di belahan benua lain. Bahkan kadang muncul pernyataan mereka
telah mencuri warisan budaya bangsa kita. Kenyataanya tidak harus menyalahkan
negara lain, hal itu terjadi karena kita acuh tak acuh terhadap hasil
kebudayaan sendiri. Mental nasionalisme bangsa kita seperti butuh ”pemacu”
untuk kembali menumbuhkan semangat cinta budaya sendiri.
Sebagai
pemilik, masyarakat kita ternyata cenderung menempatkan karawitan sebagai
sesuatu yang eksklusif. Sudah bukan hal yang langka apabila hampir semua
bangunan joglo dilengkapi dengan seperangkat gamelan yang tertata apik di salah
satu sudutnya. Jika ada yang hendak mencoba nabuh, belum tentu diizinkan. Ada beribu alasan untuk
menjadikan gamelan layakya benda keramat bertuah, sehingga tidak sembarang
tangan boleh menyentuh. Bilapun mendapat izin, si pemilik akan lebih dulu
menyampaikan peringatan-peringatan “menakutkan” dengan suara ketus dan sorot
mata tajam. Mungkin hal tersebut yang membuat masyarakat enggan untuk belajar
karawitan.
Selain masalah
sugesti dan pandangan mistik masyarakat Indonesia terhadap penggunaan
gamelan jawa, hal lain yang turut menghambat perkembangan karawitan jawa di
negeri sendiri adalah karena adanya masalah kurikulum pada pendidikan formal
seni karawitan. Pendidikan formal seni karawitan sangat mengutamakan usaha agar
menghasilkan lulusan berkualitas pada aspek skill. Terbukti bahwa untuk
menemukan sarjana seni yang terampil memainkan semua alat musik bukanlah hal
yang sulit. Namun tampaknya untuk menemukan sarjana seni yang mampu
men-transfer ilmunya kepada orang lain adalah perkara sulit. Jangankan
mengajarkan kepada orang lain, untuk memahami sendiri, ketika masih sekolah
mereka sangat kesulitan. Pembelajaran seni (karawitan) yang konservatif, tidak
mempertimbangkan aspek psikologis, dan menitikberatkan kesenimanan, adalah
kelalaian terhadap proses pelestarian seni karawitan jawa. Serta anggapan
karawitan adalah seni budaya yang kuno dan tidak mengikuti perkembangan zaman
turut menjadikan karawitan jawa budaya yang terdengar membosankan bagi generasi
muda. Keberadaan seni karawitan di luar pulau Jawa memang tidak sepopuler
seperti di daerah Surakarta
dan Yogjakarta.
Sebaiknya dunia pendidikan formal sudah harus menyiapkan sarjana-sarjana yang memiliki spesifikasi sebagai pendidik, pengaji,kritisi, dan pengelola, selain praktisi seni pertunjukan (karawitan). Mereka inilah yang nantinya akan bersinergi sebagai agen budaya dalam rangka menciptakan iklim kondusif untuk kelangsungan hidup seni karawitan di “rumah sendiri” sarjana yang memiliki spesifikasi sebagai pendidik, pengaji,kritisi, dan pengelola, selain praktisi seni pertunjukan (karawitan). Mereka inilah yang nantinya akan bersinergi sebagai agen budaya dalam rangka menciptakan iklim kondusif untuk kelangsungan hidup seni karawitan di “rumah sendiri”.
Sebaiknya dunia pendidikan formal sudah harus menyiapkan sarjana-sarjana yang memiliki spesifikasi sebagai pendidik, pengaji,kritisi, dan pengelola, selain praktisi seni pertunjukan (karawitan). Mereka inilah yang nantinya akan bersinergi sebagai agen budaya dalam rangka menciptakan iklim kondusif untuk kelangsungan hidup seni karawitan di “rumah sendiri” sarjana yang memiliki spesifikasi sebagai pendidik, pengaji,kritisi, dan pengelola, selain praktisi seni pertunjukan (karawitan). Mereka inilah yang nantinya akan bersinergi sebagai agen budaya dalam rangka menciptakan iklim kondusif untuk kelangsungan hidup seni karawitan di “rumah sendiri”.
Seni gamelan
jawa mengandung nilai-nilai historis dan filsofis bagi bangsa Indonesia .
Dikatakan demikian sebab gamelan jawa merupakan salah satu seni budaya yang
diwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta
ditekuni. Secara Hipotesis, masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah
mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah wayang dan gamelan. Sebagai ”ahli
waris” seni karawitan jawa sudah seharusnya masyarakat Indonesia
menghargai,melestarikan dan mencintai kebudayaan bangsanya sendiri sebelum
adanya ”klaim-klaim” lain dari negara tetangga dan barulah mata kita terbuka
dan menyadari betapa indahnya budaya Indonesia. Ternyata benar kata pepatah
”kita tidak akan menyadari betapa berharganya sesuatu jika kita tidak
kehilangannya”.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar